Dalam kerangka sistem demokrasi, seorang kepala negara adalah lembaga pelaksana (eksekutif) dari undang-undang yang dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang (legislatif). Karena itu, indikator keberhasilan seorang kepala negara dalam sistem ini adalah sejauh mana ia mampu mengimplementasikan undang-undang tersebut dalam satu masa jabatannya. Namun, akan sulit mencari standar ideal seorang kepala negara, karena undang-undang yang diterapkan adalah produk akal manusia sesuai dengan ukuran maslahat saat itu.
Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan syariat sebagai satu-satunya tolok ukur dalam menetapkan sesuatu, termasuk standar ideal seorang kepala negara.
Kepala Negara dalam Pandangan Islam
Dalam sistem Islam, seorang kepala negara adalah khalifah, imam, atau amirul mukminin. Ia adalah pemimpin umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Pemimpin seperti inilah yang dinyatakan oleh syariat Islam, yang mengepalai Kekhilafahan Islam, yang wajib dimana ditegakkan dan dijaga setiap saat oleh kaum Muslim.
Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah r.a.:
«كَانَتْ بَنُوْإِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ. قَالُوْا :فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ. وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»
“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah.” Para sahabat bertanya, “Apakah yang Engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka atas rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim).
Tugas kekhalifahan adalah sebuah tugas kepemimpinan yang mengemban amanat dari umat. Aspek mas’ûliyat (tanggung jawab) menjadi unsur yang paling mendasar dalam kepemimpinan. Artinya, jabatan itu adalah amanat yang akan dimintai pertanggungjawaban. Wajar jika jabatan itu dapat mengantarkan seseorang pada derajat yang paling tinggi, tetapi bisa juga menjerumuskannya pada jurang kehinaan.
Berkaitan dengan amanat sebagai kepala negara ini, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab pernah berkata, “Andaikan ada seekor hewan melata di wilayah Irak yang kakinya terperosok ke jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku karena tidak memperbaiki jalan tersebut.”
Untuk mengemban tugas ini, syariat telah menetapkan syarat seorang kepala negara (khalifah) sebagai berikut:
Pertama, balig dan berakal, karena keduanya menjadi syarat pembebanan hukum.
Kedua, Muslim. Jabatan kepala negara (khalifah) secara mutlak tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Sebab, Allah sendiri telah melarangnya sebagaimana firman-Nya:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Pemerintahan atau kekuasaan adalah jalan yang paling mudah bagi seorang pejabat pemerintahan untuk memaksa rakyatnya. Oleh karena itu, kekuasaan mutlak tidak boleh diserahkan kepada kaum kafir. Jika pemimpin kaum Muslim adalah orang kafir maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya pun akan jauh dari nilai-nilai Islam.
Ketiga, laki-laki. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Abu Bakrah, pernah bersabda:
«لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْ أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةً»
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. (HR al-Bukhari).
Ikhbâr (pemberitahuan) Rasulullah dengan menafikan keberuntungan bagi kaum manapun yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang wanita adalah menunjukkan larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam jabatan pemerintahan. Sebab, pernyataan tersebut termasuk shiyâgh at-thalab (bentuk-bentuk perintah). Di samping itu, pemberitahuan tersebut merupakan pemberitahuan yang berisi celaan (adz-dzam) kepada mereka yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang wanita. Adanya indikasi (qarînah) penafian keberuntungan, menunjukkan bahwa celaan tersebut merupakan larangan yang pasti dan tegas. Jadi, mengangkat seorang wanita sebagai penguasa (kepala negara) adalah haram.
Keempat, adil. Adil artinya konsisten menjalankan agamanya (bertakwa dan menjaga murû‘ah). Jadi, tidak sah orang fasik diangkat menjadi seorang kepala negara atau khalifah. Adil adalah syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan khalifah serta keberlangsungan akad pengangkatannya. Sebab, Allah telah mensyaratkan seorang saksi dengan syarat adil. (Lihat: QS at-Thalaq [65]: 2). Jika untuk saksi saja harus adil, apalagi untuk khalifah.
Kelima, merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi khalifah, karena dia adalah milik tuannya sehingga dia tidak memilki wewenang untuk mengatur, bahkan sekadar mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, dia tidak layak untuk mengurusi orang lain, apalagi menjadi penguasa.
Keenam, ia haruslah seorang yang mampu memikul dan menjalankan peran dan tanggung jawab seorang kepala negara (penguasa). Dengan demikian, ia haruslah seorang negarawan.
Gambaran Kepala Negara yang Ideal
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai dan diridhai oleh rakyatnya. Demikian juga sebaliknya; ia juga mencintai dan meridhai rakyatnya. Kedua belah pihak saling membutuhkan untuk membuat sinergi bagi peningkatan ketakwaan di sisi Allah. Kondisi ini bisa terwujud ketika tidak ada perbedaan tujuan antara pemimpin dan rakyatnya. Mereka berdua sama-sama berharap dapat menjalankan seluruh sistem hukum Islam secara total. Keduanya sama-sama berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam kemungkaran. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan ‘Auf bin Malik al-Asyja’i:
«خِيَارُ أَئِمَتِكُمِ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَ يُحِبُّوْنَكُمْ وَ تُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَ يُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَ شِرَارُ أَئِمَتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُوْنَكُمْ وَ تَلْعَنُوْنَهُمْ وَ يَلْعَنُوْنَكُمْ»
Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknati mereka dan mereka pun melaknati kalian. (HR Muslim).
Gambaran pemimpin yang terbaik itu saat ini jauh dari kenyataan yang ada. Hampir semua penguasa lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyat mereka. Mereka dapat makan dan minum berkecukupan, sementara rakyatnya sedang terancam kelaparan. Mereka bermegah-megahan, sedangkan rakyat mereka dalam penderitaan, kemiskinan, dan kefakiran.
Di samping itu, seorang kepala negara tidak berada dalam bayang-bayang kekuasaan pihak lain. Artinya, tatkala khalifah tunduk patuh pada pihak lain, tidak bisa berbuat banyak untuk menolak ataupun mengatur kebijakannya sendiri, atau senantiasa diatur oleh negara lain, maka pada hakikatnya khalifah tersebut sama dengan menjadi hamba dari penguasa yang lain. Yang menyakitkan, di depan publik mereka seolah-olah membenci penjajah kafir Barat, sementara di balik itu menjadi agen untuk menguras kekayaan negeri kaum Muslim demi kepentingan sang penjajah. Jika kondisi ini terjadi, seorang kepala negara atau khalifah wajib diberhentikan.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang kepala negara atau khalifah tidak boleh menjadi boneka negara lain dan menjadi operator kepentingan pihak-pihak asing. Ia tidak terpengaruh oleh atau mengekor pada negara manapun dalam mengatur, mengurusi, dan melayani masyarakat. Kepala negara atau khalifah berkuasa penuh dengan berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah untuk mengatur dan memelihara seluruh kepentingan rakyatnya.
Daftar Rujukan
1 Al-Quran al-Karim.
2 As-Suyuthi, Imam. 2001. Târîkh al-Khulafâ’ (terjemahan), Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, Cet. I.
3 Anonim, Buletin Dakwah Jumat Al Fath.
4 Baswir, Revrisond. “Dosa-dosa IMF,” artikel di Harian Republika, 1 Juli 2002.
5 Hasjmy, A. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang. Jakarta. Cet. V.
6 Mufti, Dr. Muhammad Ahmad & Dr. Sami Shalih Al-Wakil, 2002. Formalisasi Syariah Dalam Kehidupan Bernegara, Suatu Studi Analisis. Media Pustaka Ilmu. Yogyakarta
7 Zallum, Abdul Qadim. 2002. Sistem Pemerintahan Islam, Al-Izzah, Bangil., Cet. III.
0 komentar to "KEPALA NEGARA YANG IDEAL"
Posting Komentar