MAKANAN DAN MINUMAN DALAM ISLAM

Sejak dahulu umat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda dalam persoalan makanan dan minuman, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, khususnya makanan berupa binatang.
Sedangkan mengenai makanan dan minuman dari tumbuh-tumbuhan tidak banyak perselisihan dikalangan manusia. Islam tidak mengharamkan kecuali sesuatu yang telah berubah menjadi khamar(memabukkan), baik terbuat dari anggur, kurma,gandum, maupun benda-benda lain. Intinya, makanan atau minuman itu memabukkan. Demikian juga islam mengharamkan sesuatu yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan melemahkan urat, dan segala sesuatu yang membahayakan tubuh,.

Islam Menghalalkan Yang Baik-Baik

Islam mengarahkan seruannya kepada manusia secara keseluruhan dengan mengatakan:
“Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah: 168)
Allah swt, Yang Memiliki apa-apa yang ada di langit dan di bumi, telah menciptakan makanan-makanan bagi manusia dan telah memisahkan yang halal dan haram daripada makanan-makanan tersebut. Dia-lah yang telah menentukan apa yang baik dan yang buruk bagi manusia.
Kemudian Islam mengarahkan seruannya kepada kaum Mu’minin secara khusus dengan mengatakan :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah:172-173)
Di dalam surat Al-Ma’idah, Al-Qur’an menyebutkan makanan yang diharamkan ini lebih terperinci. Firman-Nya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ma’idah:3)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw pernah bersabda,
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya.” (HR Muslim)
Makanan yang halal berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam, antara lain:
1. Tidak termasuk Najis dan Bangkai.
Allah swt telah mengharamkan darah yang mengalir, babi, dan bangkai (kecuali ikan dan belalang) untuk dimakan oleh manusia, karena hal itu termasuk najis. Dalam hal ini seluruh bentuk najis menjadi haram hukumnya untuk dimakan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah swt dalam Al Qur’an.
“Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena semua itu najis, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.“(QS Al An’am: 145)
Sesuatu bagian yang dipotong dari binatang itu masih hidup statusnya sama seperti bangkai, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang dipotong dari binatang selagi ia masih hidup adalah bangkai” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hewan yang telah dibunuh oleh hewan buas termasuk jenis bangkai, kecuali hewan tersebut telah dilatih dan pada saat melepaskannya untuk menangkap buruan kita menyebutkan nama Allah swt, maka hukumnya adalah halal untuk hewan hasil tangkapannya. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam Al Qur’an.
“Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS Al Maidah: 4)
Ada dua jenis bangkai dan darah yang dihalalkan untuk dimakan, yaitu yang termasuk dua bangkai adalah ikan dan belalang, dan yang termasuk dua darah adalah hati dan limpa. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah.
Dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda:”Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
2. Tidak menimbulkan dharar (bahaya) bagi fisik.
Yang termasuk makanan ataupun minuman yang memiliki efek bahaya bagi fisik manusia adalah racun. Dan golongan minuman yang memabukkan, menghilangkan pikiran sehat, atau melalaikan adalah termasuk jenis ini. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an.
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al Baqarah: 195)
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah: 90)
Rasulullah saw bersabda, “Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar).” (HR Ibnu Majah dan Ahmad.).
Beliu juga bersabda, “Barangsiapa yang mereguk racun lalu membunuh dirinya sendiri, maka racunnya akan tetap berada di tangannya seraya ia mereguknya di neraka Jahannam selama-lamanya.” (HR Bukhari)
3. Tidak termasuk jenis hewan buas.
Dalam sebuuah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, secara tegas dijelaskan bahwa hewan buas yang bertaring adalah haram dimakan. Yang termasuk hewan buas golongan ini seperti harimau, singa, buaya, serigala, kucing, anjing, kera, ular, dan setiap hewan buas pemangsa. Hewan tersebut di atas juga merupakan hewan yang berkuku tajam, termasuk dari jenis burung (berkuku tajam), yang menggunakan cakarnya dalam memakan mangsa, adalah hewan yang tidak halal untuk dimakan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda,
Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim)
4. Hewan yang berasal dari laut.
Hewan-hewan buruan yang berasal dari laut dan semua makanan dari laut adalah halal untuk dimakan, yakni dari berbagai spesies ikan laut ataupun makhluk hidup air. Karena Laut itu sesungguhnya suci airnya dan halal bangkainya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Al Qur’an.
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu…” (QS Al Maidah : 96)
Dan hadits Rasulullah saw, ketika ditanya tentang air laut, “Ia(laut) suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Abudawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)
5. Hewan halal yang mati karena disembelih.
Hewan-hewan halal yang halal dimakan jika penyebab kematian hewan tersebut adalah karena disembelih, sehingga jika penyebab kematian hewan tersebut bukan dikarenakan disembelih maka, hewan tersebut termasuk dalam golongan bangkai dan hukumnya tidak halal untuk dimakan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Al Qur’an,
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…” (QS Al Maidah : 3)
6. Hewan halal yang disembelih atas nama Allah.
Hewan yang dasar hukumnya atau hakikatnya halal menjadi sah kehalalan jika hewan tersebut disembelih dengan menyebut nama Allah ketika menyembelihnya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Al Qur’an,
“Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu…” (QS Al An’am : 118-119).
Allah juga mengharamkan hewan-hewan yang disembelih tanpa menyebutkan nama Allah ketika menyembelihnya atau dengan nama selain Allah seperti sesembahan, sesajen ataupun tumbal. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an,
“Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya yang demikian itu adalah kefasikan” (QS Al An’am :121)
Segala sesuatu yang membahayakan, haram dikonsumsi
Terdapat kaidah umum yang ditetapkan oleh Islam, yaitu tidak halal bagi seorang Muslim mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat membinasakannya sercara cepat ataupun lambat.seperti racun dan sejenisnya atau yang dapat membahayakan dan menyakitinya. Juga tidak diperbolehkan makan dan minum secara berlebihan sehingga dapat menyebabkannya sakit.

Kesimpulan:
Sesungguhnya Allah swt telah menciptakan segala jenis makanan untuk dikonsumsi oleh umat manusia, namun hanya sebagian orang yang mau berfikir makna perintah dan larangan Allah swt mengenai halal dan haramnya makanan untuk dikonsumsi. Dia telah menurunkan rasul-Nya, Rasulullah saw, yang menjelaskan kepada kita apa-apa yang tidak kita pahami.
Dia-lah Allah, yang telah memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal lagi baik dan bersyukur kepada-Nya, sebagai bukti kecintaan kita sebagai hamba-Nya. Allah swt telah berfirman,
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS An Nahl: 114)
Akhirul Kalam, semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shaleh yang selalu mencari keridhoan-Nya dari apa-apa yang kita kerjakan, termasuk terhadap makanan yang akan kita konsumsi. Dan semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan yang melampaui batas. Amiin…

Daftar Pustaka
- Dr.Yusuf qardhawi, Halal dan Haram
- www.google.com
- www.multiply.com
- Fatawa Ibnu Taimiyah.juz4.
- Dll

Read more


KEPALA NEGARA YANG IDEAL

Dalam kerangka sistem demokrasi, seorang kepala negara adalah lembaga pelaksana (eksekutif) dari undang-undang yang dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang (legislatif). Karena itu, indikator keberhasilan seorang kepala negara dalam sistem ini adalah sejauh mana ia mampu mengimplementasikan undang-undang tersebut dalam satu masa jabatannya. Namun, akan sulit mencari standar ideal seorang kepala negara, karena undang-undang yang diterapkan adalah produk akal manusia sesuai dengan ukuran maslahat saat itu.
Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan syariat sebagai satu-satunya tolok ukur dalam menetapkan sesuatu, termasuk standar ideal seorang kepala negara.
Kepala Negara dalam Pandangan Islam
Dalam sistem Islam, seorang kepala negara adalah khalifah, imam, atau amirul mukminin. Ia adalah pemimpin umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Pemimpin seperti inilah yang dinyatakan oleh syariat Islam, yang mengepalai Kekhilafahan Islam, yang wajib dimana ditegakkan dan dijaga setiap saat oleh kaum Muslim.
Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah r.a.:
«كَانَتْ بَنُوْإِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ. قَالُوْا :فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ. وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»
“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah.” Para sahabat bertanya, “Apakah yang Engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka atas rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim).

Tugas kekhalifahan adalah sebuah tugas kepemimpinan yang mengemban amanat dari umat. Aspek mas’ûliyat (tanggung jawab) menjadi unsur yang paling mendasar dalam kepemimpinan. Artinya, jabatan itu adalah amanat yang akan dimintai pertanggungjawaban. Wajar jika jabatan itu dapat mengantarkan seseorang pada derajat yang paling tinggi, tetapi bisa juga menjerumuskannya pada jurang kehinaan.
Berkaitan dengan amanat sebagai kepala negara ini, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab pernah berkata, “Andaikan ada seekor hewan melata di wilayah Irak yang kakinya terperosok ke jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku karena tidak memperbaiki jalan tersebut.”
Untuk mengemban tugas ini, syariat telah menetapkan syarat seorang kepala negara (khalifah) sebagai berikut:
Pertama, balig dan berakal, karena keduanya menjadi syarat pembebanan hukum.
Kedua, Muslim. Jabatan kepala negara (khalifah) secara mutlak tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Sebab, Allah sendiri telah melarangnya sebagaimana firman-Nya:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (QS an-Nisa’ [4]: 141).

Pemerintahan atau kekuasaan adalah jalan yang paling mudah bagi seorang pejabat pemerintahan untuk memaksa rakyatnya. Oleh karena itu, kekuasaan mutlak tidak boleh diserahkan kepada kaum kafir. Jika pemimpin kaum Muslim adalah orang kafir maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya pun akan jauh dari nilai-nilai Islam.
Ketiga, laki-laki. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Abu Bakrah, pernah bersabda:
«لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْ أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةً»
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. (HR al-Bukhari).

Ikhbâr (pemberitahuan) Rasulullah dengan menafikan keberuntungan bagi kaum manapun yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang wanita adalah menunjukkan larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam jabatan pemerintahan. Sebab, pernyataan tersebut termasuk shiyâgh at-thalab (bentuk-bentuk perintah). Di samping itu, pemberitahuan tersebut merupakan pemberitahuan yang berisi celaan (adz-dzam) kepada mereka yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang wanita. Adanya indikasi (qarînah) penafian keberuntungan, menunjukkan bahwa celaan tersebut merupakan larangan yang pasti dan tegas. Jadi, mengangkat seorang wanita sebagai penguasa (kepala negara) adalah haram.
Keempat, adil. Adil artinya konsisten menjalankan agamanya (bertakwa dan menjaga murû‘ah). Jadi, tidak sah orang fasik diangkat menjadi seorang kepala negara atau khalifah. Adil adalah syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan khalifah serta keberlangsungan akad pengangkatannya. Sebab, Allah telah mensyaratkan seorang saksi dengan syarat adil. (Lihat: QS at-Thalaq [65]: 2). Jika untuk saksi saja harus adil, apalagi untuk khalifah.
Kelima, merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi khalifah, karena dia adalah milik tuannya sehingga dia tidak memilki wewenang untuk mengatur, bahkan sekadar mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, dia tidak layak untuk mengurusi orang lain, apalagi menjadi penguasa.
Keenam, ia haruslah seorang yang mampu memikul dan menjalankan peran dan tanggung jawab seorang kepala negara (penguasa). Dengan demikian, ia haruslah seorang negarawan.

Gambaran Kepala Negara yang Ideal
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai dan diridhai oleh rakyatnya. Demikian juga sebaliknya; ia juga mencintai dan meridhai rakyatnya. Kedua belah pihak saling membutuhkan untuk membuat sinergi bagi peningkatan ketakwaan di sisi Allah. Kondisi ini bisa terwujud ketika tidak ada perbedaan tujuan antara pemimpin dan rakyatnya. Mereka berdua sama-sama berharap dapat menjalankan seluruh sistem hukum Islam secara total. Keduanya sama-sama berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam kemungkaran. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan ‘Auf bin Malik al-Asyja’i:
«خِيَارُ أَئِمَتِكُمِ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَ يُحِبُّوْنَكُمْ وَ تُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَ يُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَ شِرَارُ أَئِمَتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُوْنَكُمْ وَ تَلْعَنُوْنَهُمْ وَ يَلْعَنُوْنَكُمْ»
Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknati mereka dan mereka pun melaknati kalian. (HR Muslim).

Gambaran pemimpin yang terbaik itu saat ini jauh dari kenyataan yang ada. Hampir semua penguasa lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyat mereka. Mereka dapat makan dan minum berkecukupan, sementara rakyatnya sedang terancam kelaparan. Mereka bermegah-megahan, sedangkan rakyat mereka dalam penderitaan, kemiskinan, dan kefakiran.
Di samping itu, seorang kepala negara tidak berada dalam bayang-bayang kekuasaan pihak lain. Artinya, tatkala khalifah tunduk patuh pada pihak lain, tidak bisa berbuat banyak untuk menolak ataupun mengatur kebijakannya sendiri, atau senantiasa diatur oleh negara lain, maka pada hakikatnya khalifah tersebut sama dengan menjadi hamba dari penguasa yang lain. Yang menyakitkan, di depan publik mereka seolah-olah membenci penjajah kafir Barat, sementara di balik itu menjadi agen untuk menguras kekayaan negeri kaum Muslim demi kepentingan sang penjajah. Jika kondisi ini terjadi, seorang kepala negara atau khalifah wajib diberhentikan.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang kepala negara atau khalifah tidak boleh menjadi boneka negara lain dan menjadi operator kepentingan pihak-pihak asing. Ia tidak terpengaruh oleh atau mengekor pada negara manapun dalam mengatur, mengurusi, dan melayani masyarakat. Kepala negara atau khalifah berkuasa penuh dengan berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah untuk mengatur dan memelihara seluruh kepentingan rakyatnya.



Daftar Rujukan
1 Al-Quran al-Karim.
2 As-Suyuthi, Imam. 2001. Târîkh al-Khulafâ’ (terjemahan), Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, Cet. I.
3 Anonim, Buletin Dakwah Jumat Al Fath.
4 Baswir, Revrisond. “Dosa-dosa IMF,” artikel di Harian Republika, 1 Juli 2002.
5 Hasjmy, A. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang. Jakarta. Cet. V.
6 Mufti, Dr. Muhammad Ahmad & Dr. Sami Shalih Al-Wakil, 2002. Formalisasi Syariah Dalam Kehidupan Bernegara, Suatu Studi Analisis. Media Pustaka Ilmu. Yogyakarta
7 Zallum, Abdul Qadim. 2002. Sistem Pemerintahan Islam, Al-Izzah, Bangil., Cet. III.

Read more


PERANAN SHABAR DALAM PERANAN DA’WAH ISLAM

Perjalanan da’wah bukanlah perjalanan yang cukup di tempuh sehari dua hari, sebulan dua bulan atau setahun dua tahun, tetapi perjalanan da’wah adalah perjalanan yang sangat panjang yang lebih panjang dari usia seorang da’i.
Perjalanan da’wah juga bukan perjalanan pesiar yang selalu dipenuhi dengan dengan kesenangan dan canda ria, tetapi perjalanan da’wah adalah perjalanan yang juga banyak ditaburi onak dan duri disamping kebahagiaan duniawi. Suatu perjalanan yang penuh dengn pengorbanan baik pengorbanan waktu, harta, tenaga, bahkan pengorbanan jiwa.
Betapapun panjang dan sulitnya perjalanan da’wah namun ini harus dilakukan oleh setiap orang yang mengaku dirinya beragama Islam karena Rasulullah telah bersabda ”Ballighu ’annii walau ayatan” yang artinya sampaikan daripadaku walau cuma satu ayat dan firman Allah WST : ”kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi ta’muruuna bil ma’rufi wa tanhauna ’anil munkar.....”. disamping itu, sejarah telah memperlihatkan kepada kita bahwa awal kehancuran Bani Israil adalah karena mereka meninggalkan amar maruf nahi munkar. Bahkan, da’wah itu harus dilakukan walaupun saat kemenangan dan kekuasaan sudah berada pada pihak ummat Islam.
Ibnu Majah, al-Hakim dan lain-lainnya pernah meriwayatkan bahwa pada saat Islam menang dan terasa banyak pertolongan yang diberikan orang Anshar, secara diam-diam ada orang anshar yang mempersoalkan kemenangan itu. Harta kami telah ludes untuk perjuangan sehingga Allah mewujudkan kemuliaan ini. Kiranya kita tetap menumpuk harta, tentu kita sejahtera.
Ungkapan seperti itu dilontarkan oleh seorang Anshar tatkala melintasi suatu lembah yang subur saat pulang dari perang Yarmuk. Dia menginginkan adanya dispensasi untuk meninggalkan da’wah dan kembali memikirkan perekonomiannya yang banyak dikorbankan untuk kegiatan da’wah.
Ungkapan tersebut akhirnya sampai kepada Rasulullah dan Rasulullah terdiam karena masalah yang dikemukakan itu adalah masalah berat yang menyangkut da’wah yang harus dijawab oleh si Pemberi Risalah itu sendiri. Akhirnya turunlah firman Allah SWT, kepada Rasulullah sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah : 195)
Inilah suatu jawaban tuntas dari Allah SWT. Atas permintaan dispensasi tersebut. Allah bukannya memberikan dispensasi kepada para sahabat Rasullah tetapi justru memerintahkan kepada mereka untuk terus menginfakkan harta benda mereka guna kepentingan da’wah Islam. Apabila ini tidak dilakukan maka berarti mereka menjatuhkan diri mereka sendiri ke dalam kebinasaan, kembali kepada kejahiliyahan karena tidak ada lagi orang yang beramar ma’ruf nahi munkar.

Peranan Shabar
Melihat demikian panjang dan sulitnya perjalanan yang harus ditempuh maka wajar apabila dalam melakukan perjalanan ini harus dengan keshabaran.
Bila kita melihat ayat tentang shabar yang tidak kurang dari 70 ayat maka akan memperoleh gambaran yang jelas tentang shabar karena kalimat shabar tersebut dikaitkan dengan kalimat-kalimat lainnya seperti shalat, jihad, aqidah, syukur, tawakkal dan kalimat lainnya. Ini semua menunjukkan bahwa shabar memang merupakan perkara yang diperlukan dalam kehidupan manusia.

Arti dan Jenis-jenis Keshabaran
Arti shabar itu sendiri menurut bahasa adalah Alhabsu (mengekang), Alkaffu (menahan) dan Alman’u (mencegah). Adapun menurut syara’, shabar adalah menahan hawa nafsu sesuai dengan tuntutan akal dan syariat Islam.
Dari definisi tersebut jelas bahwa shabar dapat kita bagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
Pertama, Shabar di Dalam Berhadapan dengan Hawa Nafsu
Setiap manusia pasti mempunyai hawa nafsu yang cenderung mengajak kepada keburukan. Shabar dalam menghadapi hawa nafsu berarti mampu mengendalikan hawa nafsu. Orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu maka ia telah mampu melakukan hal-hal sebagai berikut :
- Tidak condong kepada hawa nafsu
- Tidak tenggelam di dalam menerima hawa nafsu
- Melaksanakan hak-hak Allah seperti zakat, infak, dan shadaqah
- Shabar atas bencana dan musibah
Manusia jaga harus bershabar di dalam menerima bencana dan musibah, baik yang datang langsung dari Allah ta’ala maupun yang datang melalui tangan-tangan manusia. Sebagai mana Allah berfirman yang artinya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah : 155)
Juga di dalam surat Al-Muzzammil ayat 10, Allah memerintahkan kita untuk tetap bershabar dari segala cemoohan orang lain Firman-Nya:
وَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”.

Kedua, Shabar dalam Menaati Allah dan Rasul-Nya
Sebagai seorang yang beriman maka kita hendaknya melaksanakan segala perintah Allah dan Rasulullah-Nya. Kita tahu bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang terakhir Allah turunkan untuk manusia yang di dalamnya terdapat banyak perintah Rasulullah yang kita jumpai dalam Assunnah. Maka setiap kita dalam melaksanakan semua itu adalah sebagai berikut:
- Menjaganya dalam arti melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya
- Ketaatan tersebut dilandasi dengan niat yang ikhlas, tanpa rasa berat hati dan keluh kesah
- Operasionalisasi perintah tersebut harus sepenuhnya mengikuti pola yang telah digariskan dalam assunnah, jangan kita mengada-ada sesuatu yang baru atau memilih-milih perintah-perintah yang ringan-ringan saja


Ketiga, Shabar dalam Menjauhi Maksiat Kepada Allah
Kita juga dituntut untuk senantiasa menjauhi segala bentuk-bentuk kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Segala macam kemaksiatan yang ada pada dasarnya bersumber dari penyalahgunaan harta dan seksual. Oleh karena itu, kita patut berhati-hati terhadap dua hal tersebut. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”. (QS. Thaahaa: 131)
Inilah yang perlu dimiliki oleh seorang da’i untuk mencapai keberhasilan da’wahnya karena berupa cemoohan dan tertawaan yang dilontarkanoleh orang-orang yang berdosa. Firman Allah yang artinya:
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا يَضْحَكُونَ (29) وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ (30) وَإِذَا انْقَلَبُوا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوا فَكِهِينَ (31) وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ(32)
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat". (QS. Al-Muthaffifin: 29-32)
Seorang da’I dalam menempuh perjalanan panjang ini bisa saja dihinggapi kelelahan dan kejenuhan sehingga ia berhenti melanjutkan perjalanan bersama da’i-da’I yang lain. Atau bahkan ia mengajak berdamai dengan musuh-musuh Allah dengan mengharapkan keuntungan duniawi yang kecil.
Disamping itu, seorang da’i juga terkadang ingin bersegera melihat hasil dari da’wahnya. Apabila dilihat da’wahnya tidak membawa hasil atau hasilnya cuma sedikit (sedikit orang-orang yang mengikuti ajakannya) maka ia cepat berputus asa, sehingga ia melontarkan kata-kata kapan pertolongan Allah akan sampai. Padahal pertolongan Allah sudah hampir sampai.

Read more

Pengikut

About This Blog

yok kita memulai bisnis untuk menambah penghasilan bagi yang berminatyok gabung disini http://www.AWSurveys.com/HomeMain.cfm?RefID=El_syahar